Senin, 08 November 2010

Bahagia menjadi Guru

“Happiness comes of the capacity to feel deeply, to enjoy simply, to think freely, to risk life, to be needed. – Kebahagiaan berasal dari kapasitas untuk merasakan, menikmati, berpikir bebas, menghadapi resiko hidup, dan menjadi dibutuhkan.”
Storm Jameson.

Kebahagiaan adalah ide yang sangat abstrak dan bersifat sangat subyektif. Kebahagiaan dapat terkait dengan tercapainya suatu keinginan atau kebutuhan kita. Tetapi kebahagiaan seorang guru menurut saya sangat terkait dengan tanggung jawabnya mendidik dan mengajarkan nilai-nilai penting dan inspiratif terhadap para siswanya. Ketika seorang guru dapat melakukan beberapa hal berikut ini kemungkinan besar ia dapat memiliki semua sumber kebahagiaan bahkan lebih dari semua yang dipaparkan oleh Storm Jameson tersebut.

Saat menonton film animasi ini, saya seperti diingatkan tentang beberapa hal:
  1. The secret to be special is you have to believe you're special. Po hampir putus asa karena tidak mampu memecahkan rahasia Kitab Naga, yang hanya berupa lembaran kosong. Wejangan dari ayahnya-lah yang akhirnya membuatnya kembali bersemangat dan memandang positif dirinya sendiri. Kalau kita berpikir diri kita adalah spesial, unik, berharga kita pun akan punya daya dorong untuk melakukan hal-hal yang spesial. Kita akan bisa, kalau kita berpikir kita bisa. Seperti kata Master Oogway, You just need to believe
  2. Teruslah kejar impianmu. Po, panda gemuk yang untuk bergerak saja susah akhirnya bisa menguasai ilmu Kung Fu. Berapa banyak dari kita yang akhirnya menyerah, gagal mencapai impian karena terhalang oleh pikiran negatif diri kita sendiri? Seperti kata Master Oogway, Kemarin adalah sejarah, esok adalah misteri, saat ini adalah anugerah, makanya disebut Present (hadiah). Jangan biarkan diri kita dihalangi oleh kegagalan masa lalu dan ketakutan masa depan. Ayo berjuanglah di masa sekarang yang telah dianugerahkan Tuhan padamu.
  3. Kamu tidak akan bisa mengembangkan orang lain, sebelum kamu percaya dengan kemampuan orang itu, dan kemampuan dirimu sendiri. Master ShiFu ogah-ogahan melatih Po. Ia memandang Po tidak berbakat. Kalaupun Po bisa, mana mungkin ia melatih Po dalam waktu sekejap. Kondisi ini berbalik seratus delapan puluh derajat, setelah ShiFu diyakinkan Master Oogway -gurunya- bahwa Po sungguh-sungguh adalah Pendekar Naga dan Shi Fu satu-satunya orang yang mampu melatihnya. Sebagai guru atau orang tua, hal yang paling harus dihindari adalah memberi label bahwa anak ini tidak punya peluang untuk berubah. Sangatlah mudah bagi kita untuk menganggap orang lain tidak punya masa depan. Kesulitan juga acap kali membuat kita kehilangan percaya diri, bahwa kita masih mampu untuk membimbing mereka.
  4. Tiap individu belajar dengan caranya sendiri dan motivasinya sendiri. Shi Fu akhirnya menemukan bahwa Po baru termotivasi dan bisa mengeluarkan semua kemampuannya, bila terkait dengan makanan. Po tidak bisa menjalani latihan seperti 5 murid jagoannya yang lain. Demikian juga dengan setiap anak. Kita ingat ada 3 gaya belajar yang kombinasi ketiganya membuat setiap orang punya gaya belajar yang unik. Hal yang menjadi motivasi tiap orang juga berbeda-beda. Ketika kita memaksakan keseragaman proses belajar, dipastikan akan ada anak-anak yang dirugikan.
  5. Kebanggaan berlebihan atas anak/murid/diri sendiri bisa membutakan mata kita tentang kondisi sebenarnya, bahkan bisa membawa mereka ke arah yang salah. Master ShiFu sangat menyayangi Tai Lung, seekor macan tutul, murid pertamanya, yang ia asuh sejak bayi. Ia membentuk Tai Lung sedemikian rupa agar sesuai dengan harapannya. Memberikan impian bahwa Tai Lung akan menjadi Pendekar Naga yang mewarisi ilmu tertinggi. Sayangnya Shi Fu tidak melihat sisi jahat dari Tai Lung dan harus membayar mahal, bahkan nyaris kehilangan nyawanya. Seringkali kita memiliki image yang keliru tentang diri sendiri/anak/murid kita. Parahnya, ada pula yang dengan sengaja mempertebal tembok kebohongan ini dengan hanya mau mendengar informasi dan konfirmasi dari orang-orang tertentu. Baru-baru ini saya bertemu seorang ibu yang selama 14 tahun masih sibuk membohongi diri bahwa anaknya tidak autis. Ia lebih senang berkonsultasi dengan orang yang tidak ahli di bidang autistik. Mendeskreditkan pandangan ahli-ahli di bidang autistik. Dengan sengaja memilih terapis yang tidak kompeten, agar bisa disetir sesuai keinginannya. Akibatnya proses terapi 11 tahun tidak membuahkan hasil yang signifikan. Ketika kita punya image yang keliru, kita akan melangkah ke arah yang keliru.
  6. Hidup memang penuh kepahitan, tapi jangan biarkan kepahitan tinggal dalam hatimu. Setelah dikhianati oleh Tai Lung, Shi Fu tidak pernah lagi menunjukkan kebanggaan dan kasih sayang pada murid-muridnya. Sisi terburuk dari kepahitan adalah kita tidak bisa merasakan kasih sayang dan tidak bisa berbagi kasih sayang.
  7. Keluarga sangatlah penting. Di saat merasa terpuruk, Po disambut hangat oleh sang ayah. Berkat ayahnya pula Po dapat memecahkan rahasia Kitab Naga dan menjadi Pendekar nomor satu. Sudahkah kita memberi dukungan pada anggota keluarga kita?

Guru Sejati

Guru sejati memiliki tiga keutamaan: kepribadian mengesankan, prilaku meneladankan dan ilmu yang mencerahkan

Kepribadian guru sejati, menurut Imam Al-Ghazali dalam bukunya Ihya 'Ulumuddin antara lain: Ikhlas mengajar karena Allah semata dan penuh kasih sayang kepada murid denganmemperlakukannya seperti anak sendiri. Selain itu, guru sejati haruslah penyabar, dan cerdas-kreatif. Dia bersungguh-sungguh mencegah muridnya dari akhlak tercela, tetapi dengan cara yang bijak dan tidak membuat mereka malu.

Soal prilaku, guru sejati haruslah seseorang yang telah mendapat petunjuk, telah sesuai perbuatan dengan perkataan. Bagaimana dia dapat memberi petunjuk jika dia belum mendapat petunjuk? Bagaimana dia dapat menunjukkan arah Bandung, jika dia belum pernah ke Bandung? Bagaimana dia dapat mengamankan agama anak anda jika dia bukanlah orang yang taat beragama? Bagaimana tumbuh kasih sayang, jika yang mengasuhnya adalah 'monster'? Bagaimana anak menjadi pekerja keras, pantang menyerah, dan selalu mengusahakan pekerjaan yang terbaik, jika pendidiknya adalah seorang pemalas, pesimistis dan sembarangan? Bagaimana tumbuh pohon yang subur di tangan tukang-tukang kebun penggerutu, yang hatinya tidak kunjung selesai mencerca nasibnya, jiwanya sendiri terbonsai oleh ketidak-ikhlasan menerima kehendakNya? Bagaimana kejujuran lahir dari rahim kedustaan? Bagaimana timbul bayangan lurus dari tongkat yang bengkok? Perilaku guru cermin bagi anak. Perilaku berbicara, lebih dari berbicara!.

Soal ilmu, guru sejati adalah guru profesional, dalam dan luas ilmu spesialisasinya. Jika murid-muridnya membutuhkan lampu ilmu 9000 watt, maka sang guru telah memiliki daya 10.000 watt. Hasilnya adalah ilmu yang terang benderang. Demikianlah, kepribadian guru adalah gelombang yang memancar, perilakunya pesan yang berbicara, ilmunya lampu yang menerangi. Guru dengan kualitas ilmu mungkin paling mudah kita ketahui dari riwayat hidup dan pendidikannya. Tapi guru kepribadian dan prilaku, tak mudah kita temui. Anda harus kenal benar-benar dengannya. Atau, tanyalah nurani: apakah hati anda cukup nyaman dengannya? Wallahu a'lam.

Seandainya...........

Hati ibu mana yang tak akan sedih.... yang terlanda gundah gulana... ketika dihadapkan pada sebuah kenyataan... sang buah hati ... tak lagi mau pergi sekolah... mogok belajar di sekolah... karena berbagai penyebab yang membuatnya tidak nyaman, tidak kerasan ... atau bahkan karena adanya rasa takut atau terancam akan sesuatu... yang semakin membuat hati tak menentu arah adalah kurang terbukanya anak untuk bercerita terhadap orang tuanya.... dan mungkin semakin penuh denga rasa gelisah ketika pihak sekolahpun tak mengomunikasikannya dngan baik .... sehingga yang ada adalah praduga-praduga dan prasangka-prasangka tentunya.....

akankah keadaan seperti itu akan terus berlanjut dan tak pernah ada solusi terbaik dalam mengatasinya... karena kita sering jumpai permasalahan tersebut dari waktu kewaktu dan terus ada...


seandainya.....
setiap orang tua ....
memiliki kedekatan dan keterbukaan yang dipupuk sejak dini dengan sang buah hati... maka dapat dipastikan setiap permasalahan yang hinggap pada diri anak akan segera disampaikan kepada orang tuanya..
tidak terlalu membebani sang buah hati dengan target-target diluar batas kemampuan dan sesuai dengan usianya... anak akan gampang bercerita ketika kegagalan dan kesalahan yang mereka lakukan terjadi...
tidak memaksakan sang anak ... harus seperti ini... seperti itu..bisa ini.. bisa itu ... ikut ini ..ikut itu... yakinlah anakpun akan secara sukarela menyampaikan apa yang diinginkan dan apa yang memang menjadi kebutuhannya....


seandainya....
setiap guru....
memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap kondisi dan kepribadian siswanya... maka sekecil apapun masalah yang ada akan dapat segera terbaca dan terdeteksi lebih awal....
tidak menganggap pekerjaan guru ini sebagi beban, yang hanya perlu menggugurkan kewajiban saja ketika berhadapan dengan para siswa.... Insya ALLAH komunikasi, kedekatan emosional dan ikatan batin seorang guru dengan siswa akan gampang terbentuk dan mengakar...
tidak memaksakan gaya mengajar guru harus selalu diikuti oleh siswa... yang lebih menekankan pada sekedar kepatuhan dan kedisiplinan semu dengan berbagai macam hukuman dan acaman terhadap segala perilaku siswa yang dianggap serupa dengan kesalahan... segeralah yakin bahwa siswa kita akan mau dan mampu menerima semua yang diajarkan dan disampaikan

seandainya....
setiap anak...
mendapatkan perlakukan sesuai dengan usia dan kemampuannya...
memperoleh bentuk proses pembelajaran yang menyenangkan....
memiliki hubungan yang hangat dan bersahabat dengan orang tua dan juga guru...
dan tidak menjadi tempat atau tumpuan semua kesalahan yang terjadi......

seandainya....
semua pihak...
berketetapan hati untuk dapat dan bersedia menerima informasi apa saja dari pihak lain...
merendahkan hati untuk memulai berkomunikasi setiap permasalahan yang terjadi dan ada...
membuka hati akan segala bentuk masukan, saran dan bahkan kritik....

maka....
mungkinkah masih ada orang tua yang risau dan was-was...???
mungkinkah masih ada guru yang bertindak sewenang-wenang...???
mungkinkah masih ada anak yang mogok sekolah...???
jawaban.... mari kita tanyakan pada hati kita masing-masing....
dan dipagi hari yang cerah ini... kami panjatkan doa untuk seluruh sahabat guru semoga selalu mendapatkan diri pada kesabaran dan menemukan diri pada ketelatenan....semoga selalu dalam lindungan ALLAH SWT.... selamat bekerja dan semoga selalu sukses....amin

Energy mengajar

“Without passion you don’t have energy, without energy you have nothing (Donald Trump)”.

Begitu isi sepenggal SMS dari salah satu sahabat terbaik saya. Mungkin dia bermaksud mengingatkan saya, atau mungkin dia tengah berbagi tentang apa yang sedang dia pikirkan. Saya pun tidak tahu. Tapi, SMS itu telah membangunkan saya “seolah-olah” sedang terlelap dari tidur sepekan terakhir ini. Mungkin karena SMS itu pula, saya kemudian bersemangat kembali menulis catatan yang kosong ini dan ingin berbagi dengan rekan dan sahabat di dunia maya. Lepas dari itu, SMS itu juga yang ingin saya paparkan melalui tulisan ini.

Pesan dari Donal Trump mungkin ada benarnya. Meski teori tentang energi adalah kekal sebagaimana kita kenal dalam ilmu fisika di sekolah. Ternyata Trump menginspirasikan bahwa yang namanya energi itu punya sebab, yaitu hasrat (passion). Jadi kemunculan energi itu karena ada hasrat, dorongan (dari dalam). Dalam salah satu buku yang pernah saya baca yang berjudul “Phsycology of Winning”, bahwa dorongan dari dalam itu adalah motivasi. Menurutnya pula motivasi itu berasal dari dalam diri seseorang. Dia juga menolak kalau motivasi itu disebabkan dari luar selain dari dalam. Maka menjadi masuk akal yang dikatakan Trump, kalau energi yang luar biasa itu muncul karena dorongan dari dalam diri yang begitu kuat. Banyak contoh bisa disaksikan dan mungkin sudah pernah dialami oleh sebagian kita. Betapa dorongan yang kuat dari dalam diri seseorang mampu memunculkan energi sehingga mencapai apa yang diinginkannya. Dengan hasrat dan dorongan tersebut, seseorang mampu melampaui kemampuan dari yang diperkirakan sebelumnya.

Demikian pula dalam proses pembelajaran di sekolah. Seorang siswa bisa dengan tidak diduga mampu mencapai nilai maksimal dalam sebuah proses pembelajaran. Tiba-tiba siswa tersebut sangat berenergi dan penuh antusias mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh gurunya. Padahal sebelumnya dia nampak biasa-biasa saja bahkan cenderung kurang peduli atau cuek. Mengapa demikian?

  • Pertama, guru dari siswa tersebut telah memberikan energi positifnya kepada seluruh siswa melalui awal perjumpaan yang mengesankan dan menyenangkan. Atau siswa sudah dibawa ke dalam area menyenangkan (alpha zone) terlebih dahulu. Di benak/pikiran siswa tidak terlintas sesuatu yang membuat susah atau “njelimet”.
  • Kedua, guru membawa rasa nyaman siswa pada kondisi yang membuat siswa tertegun, terkesima dan terpaku dengan penjelasan maupun sesuatu yang ditampilkan oleh sang guru. Di sini siswa mengalami proses pra-kondisi yang dramatis yang membuat siswa (mau tidak mau) harus mengikuti detil penjelasan guru satu per satu. Guru mengawali aktivitas belajar siswa dengan Scene Setting. Sehingga siswa dengan kesadaran penuh melakukan aktivitas belajarnya dengan penuh antusias berenergi.
  • Ketiga, guru dalam melalukan kedua hal di atas harus dengan penuh antusias dan menjadi “dalang” bagi lahirnya sebuah aktivitas belajar yang mandiri dan terbimbing. Tanpa antusiasme dari guru tidak akan ada manfaatnya sama sekali. Karena energi positif yang terbangun dalam diri guru harus terdeteksi dan ditransformasikan kepada setiap siswanya.
Jadi, kapan lagi guru mengajar dengan penuh energi kalau bukan sekarang. Maka mulailah mengajar dengan hasrat dan dorongan dari dalam diri seorang guru. Dari situlah akan muncul energi positif yang akan menjadi bekal guru mengajar kepada para siswa. Jangan berharap siswa antusias jika guru juga tidak antusias. Sayangnya, sebigian guru beralasan, bahwa untuk ber-energi membutuhkan gizi yang tinggi. Apa benar demikian? Terserah anda kawan yang menilai.

Pendidikan Berkarakter

Pendidikan Karakter, belakangan ini menjadi buah bibir pendidikan di Indonesia. Bagi SDIT, hal ini bukan hal yang asing, karena sejak berdirinya pendidikan karakter (dengan nilai dan akhlaq Islami) menjadi hal yang selalu dikembangkan.

Pendidikan Karakter di Sekolah
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.

Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.

Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik .

Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.

Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.

Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.

Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.

Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.

Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.

Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah di Indonesia negeri maupun swasta. Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.

Melalui program ini diharapkan lulusannya memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.

Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan, yang antara lain meliputi sebagai berikut:

  1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan;
  2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
  3. Menunjukkan sikap percaya diri;
  4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
  5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
  6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;
  7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
  8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
  9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
  10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
  11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
  12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
  13. Menghargai karya seni dan budaya nasional;
  14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
  15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
  16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
  17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat;
  18. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
  19. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bhasa Inggris sederhana;
  20. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
  21. Memiliki jiwa kewirausahaan.

Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.

Ayah Sholat Subuh

Suatu hari seorang anak sedang belajar di sekolahnya, dia baru kelas 3 SD. Di salah satu pelajaran, seorang guru menjelaskan tentang shalat subuh dan dia menyimaknya dengan seksama. Mulailah gurunya berbicara tentang keutamaan dan pentingnya shalat subuh dengan cara yang menggugah, tersentuhlah anak didiknya yang masih kecil itu. Terpengaruhlah seorang anak kecil tadi oleh perkataan gurunya sementara ini dia belum pernah shalat subuh sebelumnya dan juga keluarganya.

Ketika dia pulang ke rumah, berfikirlah dia bagaimana caranya supaya bisa bangun untuk shalat subuh besoknya. Dia tidak mendapatkan caranya selain tidak tidur semalaman sampai bisa melaksanakan shalat subuh. Dia melakukan caranya itu. Dan ketika mendengar azan, bergegaslah dia untuk menjalankan shalat subuh. Tetapi ada masalah bagi anak kecil ini untuk sampai ke masjid karena letaknya jauh dari rumahnya. Dia tidak bisa berangkat sendirian, maka menangislah dia dan duduk di depan pintu. Tetapi tiba-tiba dia mendengar suara sepatu seseorang dari arah jalan, dibukalah pintu dan keluarlah segera dari rumahnya. Nampaknya kakek ini menuju masjid. Anak kecil ini melihat sang kakek dan dia kenal. Kakek ini adalah kakek temannya, Ahmad. Anak kecil ini mengikuti Kakek Ahmad di belakangnya dengan rasa khawatir dan perlahan-lahan dalam berjalan, jangan sampai Si kakek merasa diikuti dan melaporkan dia ke keluarganya dan yang kemungkinan akan menghukumnya. Berjalanlah peristiwa ini seterusnya sampai pada suatu ketika Si kakek dipanggil oleh Allah Pemilik jiwa dan raganya. Si kakek wafat.

Anak kecil mendengar kabar ini, tertegunlah dia dan menangis sejadi-jadinya. Ayahnya sangat heran melihat kondisi seperti ini, kemudian bertanyalah kepada anaknya, “wahai anakku kenapa kamu menangis sampai seperti ini, dia itu bukan teman bermainmu dan bukan pula saudaramu yang hilang?” Anak kecil itu melihat kearah ayahnya dengan berlinang air mata penuh kesedihan, dan berkata kepada ayahnya, “seandainya yang meninggal itu ayah, bukan dia.” Bagai disambar petir dan tercenganglah seorang ayah kenapa anaknya yang berkata dengan ungkapan seperti itu, dan kenapa begitu cintanya anaknya kepada si kakek? Anak kecil menjawab dengan suara parau, “Aku tidak kehilangan dia karena hal-hal yang ayah sebutkan.” Bertambah heran ayahnya itu dan bertanya, “lalu karena apa?” Anak itu menjawab, “karena shalat ayah….karena shalat!” Kemudian anak itu menambahkan pembicaraannya, “Ayah, kenapa ayah tidak shalat subuh? Kenapa ayah tidak seperti si kakek dan seperti orang lain yang aku lihat?” Berkata ayahnya, “dimana kamu melihatnya?” Anak kecil itu menjawab, “di masjid.” Berkata lagi ayahnya, “bagaimana kisahnya?” Maka berceritalah anak kecil itu kepada ayahnya tentang apa yang dilakukan selama ini. Tersentuhlah seorang ayah oleh anaknya, lembutlah hati dan tubuhnya, jatuhlah air matanya, dipeluklah anaknya, dan semenjak peristiwa itu, ayah anak itu tidak pernah meninggalkan shalat satu waktupun dan semuanya dilakukan di masjid. (athfal lakin du’ah)

Jumat, 05 November 2010

PARA PERINTIS

Mereka adalah para perintis
  1. Ahmad Faruq Jaisy
  2. Akram Kurnia Milto
  3. Arya Dwi Putra
  4. Gayo Tektona Grandis
  5. Khoirul Mizakiy Saputra
  6. M. Arief Hadyan Diffa Maulana
  7. Muhammad Zaki
  8. Umar Fateh El Karim